Minggu, 22 November 2015

Apakah Saudara sedang berada di padang gurun pencobaan? Lewatilah...



Matius  4:2
Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus
 
Kekuatan seseorang untuk menghadapi pencobaan berbeda-beda.  Ada orang yang ketika mengalami pencobaan ringan saja, sudah bisa menjauh dari Tuhan bahkan melepaskan imannya.  Ada juga orang yang ketika menghadapi pencobaan yang berat sekalipun, ia makin teguh dan berserah kepada Tuhan.  Tetapi ada orang yang tidak mengalami pencobaan tetapi membawa diri dalam pencobaan sehingga makin jauh dari Tuhan bahkan meninggalkan-Nya. 
Pencobaan itu bisa datang dari dalam diri maupun dari luar.  Pencobaan dari dalam biasanya disebabkan oleh karena kelemahan dan kedagingan kita.  Jadi, jangan bawa diri dalam pencobaan.  Pencobaan dari luar bisa terjadi karena banyak hal.  Saat ini kita tidak fokus pada pencobaan yang datang dari dalam, melainkan pencobaan yang menyerang dari luar. 
Ketika kita dicobai, apa yang harus kita lakukan?  Pasti kita akan setuju dengan jawaban ini: “Mengalahkan pencobaan itu bersama Tuhan.” Namun dapatkah kita komitmen dengan jawaban ini?  Belum tentu.  Sering kali jawaban ini bisa nampak ketika sedang dalam pencobaan.  Tetapi berbahagialah kita yang tetap mempertahankan jawaban ini, baik dalam perkataan maupun tindakan, ketika dicobai.
Sekarang kita akan merenungkan ayat dari dari pasal ini, yang berbunyi: “Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.”  Tuhan Yesus berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam sebelum memulai pelayanan-Nya.  Ihwal puasa sejak zaman Perjanjian Lama tidaklah asing.  Umat Allah selalu melakukan hal itu. Pada hari perayaan pengampunan dosa, puasa dilakukan.  Bahkan pasca-pembuangan, puasa menjadi hal yang formal bagi umat Allah.  Pada zaman Tuhan Yesus, orang Farisi berpuasa dua kali seminggu. 
Kita akan memperhatikan beberapa contoh tentang puasa yang dilakukan oleh umat Allah dalam Perjanjian Lama pada situasi yang khusus.  Ketika Ezra dan umat Allah yang lain hendak melakukan perjalanan panjang dari pembuangan ke Yerusalem, mereka mengadakan puasa.  Puasa ini dilakukan sebagai tanda merendahkan diri di hadapan Allah yang Pengasih untuk memohon perlindungan-Nya.  Puasa ini bertujuan supaya Tuhan mengabulkan permohonan mereka dan menjaga mereka dalam perjalanan panjang itu sehingga tiba dengan selamat di Yerusalem.  Hasilnya: mereka tiba dengan selamat di Yerusalem. 
Pada zaman Ratu Ester juga dilakukan puasa.  Mereka berpuasa di hadapan Allah lantaran Haman ingin memunahkan orang-orang Yahudi.  Ratu Ester dan orang-orang Yahudi berkabung dan memohon kepada Tuhan yan disertai puasa dan ratap tangis, agar Ia berkenan menyelamatkan mereka dari pembunuhan massal.  Hasilnya: mereka diselamatkan dan sebaliknya Haman yang dibunuh.  Begitu juga pada orang Niniwe pada zaman Nabi Yunus.  Mereka mengadakan puasa, baik orang dewasa maupun anak-anak, untuk memohon belas kasihan Tuhan agar mereka tidak ditunggang balikkan.  Hasilnya: mereka dibebaskan dari hukuman Tuhan untuk membinasakan mereka. 
Masih cukup banyak alasan untuk berbuasa di hadapan Allah.  Puasa juga dapat menjadi tempat pembuktian penguasaan diri dan ketahanan dalam berbagai aspek.  Namun kenapa Tuhan Yesus berpuasa?  Untuk Ia harus berpuasa?  Ia melakukan itu demi kita. 
Tidak lama lagi Tuhan Yesus akan memulai karya agung-Nya untuk menyelamatkan orang yang berdosa.  Karya agung ini hanya dilakukan oleh Tuhan Yesus.  Tidak ada orang lain yang memikul karya agung ini selain Tuhan Yesus, bukan saja karena tidak mau tetapi karena tidak ada seorang pun yang mampu melakukan karya agung ini.  Inilah karya yang paling berat sekaligus paling agung di sepanjang abad.  Tuhan Yesus akan memulainya.  Namun sebelum memulai, Ia berpuasa. 
Puasa Tuhan Yesus menguji ketahanan-Nya sebagai manusia dalam melawan segala godaan.  Puasa yang dilakukan Tuhan Yesus juga secara implisit menggambarkan hubungan-Nya dengan Allah.  Tuhan Yesus tidak duduk diam dan tidur-tiduran selama berpuasa empat puluh hari.  Sebaliknya Ia terus menerus berkomunikasi dengan Allah Bapa dan Roh Allah.  Hal ini sudah digambarkan di bagian renungan sebelumnya, sebab ini merupakan satu-kesatuan yang utuh. 
Puasa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus juga menggambarkan kemanusiaan-Nya yang sempurna dan mewakili umat-Nya.  Dalam kemanusiaan-Nya yang sempurna, Ia akan melakukan karya yang agung itu.  Ini merupakan pekerjaan agung yang sangat berat.  Tetapi Tuhan Yesus harus melakukan-Nya demi umat-Nya.  Karena itu, dalam puasa ini juga, dalam kemanusiaan-Nya, Ia menyiapkan diri untuk menjalani karya ini.  Hasilnya: Ia mampu melaksanakan dengan sempurna karya yang paling agung dan paling berat sepanjang masa itu. 
Sekarang kita coba merenung sejenak.  Mengapa Yesus harus berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam?  Tidak cukupkah jika Ia melakukan-Nya hanya lima hari, sepuluh hari, dua puluh hari atau di bawah empat puluh hari empat puluh malam?  Ada apa sehingga harus demikian?  Apakah ini suatu kebetulan belaka? 
Angka empat puluh dalam Alkitab cukup familier.  Kita akan sering menemukan angka itu.  Tuhan menurunkan hujan untuk membinasakan segala yang hidup selain Nuh dan keluarganya selama empat puluh hari empat puluh malam (Kej 7:4,12).  Yunus masuk ke kota Niniwe dan berseruh: “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan" (Yun 3:4).  Ketika Musa menghadap Tuhan di gunung Sinai, ia tidak makan dan tidak minum selama empat puluh hari empat puluh malam (Kel. 34:28).  Tuhan Yesus menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya selama empat puluh hari.  Masih cukup banyak ayat Alkitab yang membicarakan angkat empat puluh.  Tetapi cukuplah ayat-ayat di atas untuk memahami angka empat puluh itu. 
  Orang-orang yang hidup di zaman Nuh melakukan kejahatan yang begitu luar biasa.  Oleh sebab itu, Tuhan menghapus mereka dari muka bumi dengan menurunkan hujan empat hari empat puluh malam.  Kepenuhan hukuman Tuhan jelas nyata dari turunnya hujan empat puluh hari empat puluh malam.  Setelah kepenuhan hukuman itu, Tuhan tidak pernah lagi menghukum manusia dengan hujan selama empat puluh hari empat puluh malam. 
Orang-orang Niniwe membuat kejahatan yang begitu hebat di mata Tuhan.  Jika dalam tempat empat puluh hari mereka tidak bertobat, mereka akan ditunggang balikkan.  Empat puluh hari menggampar angka yang genap untuk menyatakan keadilan-Nya.  Jika dalam empat puluh hari mereka tidak bertobat, maka kejahatan mereka di mata Tuhan telah penuh dan mereka harus binasa.  Musa di gunung Sinai selama empat puluh hari empat puluh malam.  Ini juga menyatakan waktu yang penuh dalam kebersamaannya dengan Tuhan di gunung itu.  Empat puluh hari ini juga menyatakan kepenuhan kejahatan bangsa Israel di kaki gunung Sinai.  Intinya: angka empat puluh menyatakan kepenuhan. 
Tuhan Yesus belum dicobai sebelum sampai empat puluh hari empat puluh malam.  Ini bukan suatu kebetulan.  Sesudah itu, Iblis datang mencobai Dia.  Sebelum penuh empat puluh hari empat puluh malam, Iblis tidak mungkin datang mencobai-Nya.  Setelah empat puluh hari empat puluh malam, Yesus lapar dan Iblis pun datang mencobai-Nya.  Dengan adanya kepenuhan waktu pencobaan ini, umat Tuhan bersukacita karena pencobaan yang mereka alami tidak melebihi pencobaan yang dialami oleh Tuhan Yesus.  Pencobaan oleh si jahat yang mereka alami tidak melebihi pencobaan yang Tuhan Yesus telah alami. 
Pencobaan yang Ayub alami mungkin berbeda dengan yang kita alami sekarang.  Setiap pencobaan yang dialami umat Tuhan berbeda-beda antara satu dengan yang lain.  Tetapi hakikat dari semua pencobaan yang umat Tuhan alami telah dialami secara penuh oleh Tuhan Yesus.  Inti dari segala pencobaan umat-Nya telah terpenuhi dalam pencobaan yang dialami Tuhan Yesus.  Karena itu, setiap pencobaan yang kita alami dapat Ia kalahkan sebab Ia telah mengalahkan segala pencobaan si Iblis.  Berbahagialah kita yang mengalahkan pencobaan yang kita hadapi bersama dengan Tuhan Yesus. 
Mungkin kita bertanya, “Kok bisa Tuhan Yesus bisa hidup tanpa makan dan minum selama empat puluh hari empat puluh malam?”  Kita sendiri kalau tidak makan dan tidak minum satu atau dua hari saja sudah tidak berdaya.  Tetapi mengapa Tuhan Yesus tidak demikian?  Kalau pertanyaan ini muncul maka pertanyaan ini harus lebih dulu tertuju kepada Musa.  Musa berpuasa, tidak makan dan tidak minum selama empat puluh hari empat puluh malam di gunung Sinai.  Tetapi Musa tidak merasa lemas, apalagi mati.  Tidak!  Manusia biasa seperti Musa saja bisa hidup tanpa makan dan minum selama empat puluh hari empat puluh malam, apalagi Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati. 
Musa tidak mati di gunung Sinai karena berada dalam keagungan dan kemuliaan Allah.  Keagungan dan kemuliaan Allah menjadi sebab ketidakmatian Musa walaupun tidak makan empat puluh hari empat puluh malam.  Yesus dalam kemanusiaan-Nya, walaupun tidak makan dan tidak minum, tidak akan menyebabkan kematian.  Alasan-Nya  karena Ia sedang dalam keintiman dengan Allah, memiliki segala keagungan dan kemuliaan Allah dan Ia sendiri adalah Allah.  Ia dapat melakukan hal-hal di luar kemampuan akal dan kekuatan kita. 
Setelah empat puluh hari empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.  Lapar menandakan bahwa Yesus bukanlah manusia setelah dewa, melainkan manusia sempurna.  Dia bukan hanya Tuhan yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa, tetapi juga Tuhan yang turut merasakan segala sesuatu yang dirasakan umat-Nya. 
Akhirnya Yesus lapar setelah berpuasa empat puluh hari empat puluh malam dan itu terjadi di padang gurun.  Kenapa Tuhan Yesus dicobai di padang gurun?  Ada apa di padang gurun?  Apakah ada sesuatu yang bisa dijadikan andalan di padang gurun?  Tidak ada yang menyenangkan di padang gurun.  Sebaliknya kita membahayakan diri jika berada di sana.  Tetapi Tuhan dicobai di sana.  Padahal binatang-binatang liar buaslah yang menjadi ‘teman’ Tuhan Yesus.  Bisa saja binatang-binatang itu datang menyerang-Nya.  Tetapi mereka tunduk pada-Nya.  Tidak ada air di padang gurun.  Tidak ada roti di padang gurun.  Tidak ada tempat perteduhan yang cukup di padang gurun.  Tidak ada yang mendukung untuk dijadikan tempat tinggal di padang gurun.  Tetapi Tuhan Yesus telah berkenan dicobai di padang gurun.  Semuanya Ia lakukan demi umat-Nya. 
Mungkin sekarang kita sedang berada di padang gurun pencobaan.  Padang gurun pencobaan kita bermacam-macam.  Tetapi ingatlah bahwa apa pun padang gurun pencobaan yang kita hadapi, Tuhan telah lebih dulu melewati padang gurun itu.  Karena Dia telah melewati padang gurun itu maka Dia mengetahui jalan yang tepat untuk melewatinya.  Sebab itu, rendahkanlah diri dan mohonlah kepada-Nya agar Ia berkenan membawa dan menuntun kita dari padang gurun pencobaan kita masing-masing.  Dengan itulah maka dengan perkataan dan tindakan kita masing-masing dapat berkata: “Aku mengalahkan pencobaan itu bersama Tuhan.” AMIN….!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar