Matius 4:2
Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya
laparlah Yesus
Kekuatan
seseorang untuk menghadapi pencobaan berbeda-beda. Ada orang yang ketika mengalami pencobaan
ringan saja, sudah bisa menjauh dari Tuhan bahkan melepaskan imannya. Ada juga orang yang ketika menghadapi
pencobaan yang berat sekalipun, ia makin teguh dan berserah kepada Tuhan. Tetapi ada orang yang tidak mengalami
pencobaan tetapi membawa diri dalam pencobaan sehingga makin jauh dari Tuhan
bahkan meninggalkan-Nya.
Pencobaan itu
bisa datang dari dalam diri maupun dari luar.
Pencobaan dari dalam biasanya disebabkan oleh karena kelemahan dan
kedagingan kita. Jadi, jangan bawa diri
dalam pencobaan. Pencobaan dari luar
bisa terjadi karena banyak hal. Saat ini
kita tidak fokus pada pencobaan yang datang dari dalam, melainkan pencobaan
yang menyerang dari luar.
Ketika kita
dicobai, apa yang harus kita lakukan? Pasti
kita akan setuju dengan jawaban ini: “Mengalahkan
pencobaan itu bersama Tuhan.” Namun dapatkah kita komitmen dengan jawaban
ini? Belum tentu. Sering kali jawaban ini bisa nampak ketika
sedang dalam pencobaan. Tetapi
berbahagialah kita yang tetap mempertahankan jawaban ini, baik dalam perkataan
maupun tindakan, ketika dicobai.
Sekarang kita
akan merenungkan ayat dari dari pasal ini, yang berbunyi: “Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya
laparlah Yesus.” Tuhan Yesus
berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam sebelum memulai
pelayanan-Nya. Ihwal puasa sejak zaman Perjanjian
Lama tidaklah asing. Umat Allah selalu
melakukan hal itu. Pada hari perayaan pengampunan dosa, puasa dilakukan. Bahkan pasca-pembuangan, puasa menjadi hal
yang formal bagi umat Allah. Pada zaman
Tuhan Yesus, orang Farisi berpuasa dua kali seminggu.
Kita akan
memperhatikan beberapa contoh tentang puasa yang dilakukan oleh umat Allah
dalam Perjanjian Lama pada situasi yang khusus.
Ketika Ezra dan umat Allah yang lain hendak melakukan perjalanan panjang
dari pembuangan ke Yerusalem, mereka mengadakan puasa. Puasa ini dilakukan sebagai tanda merendahkan
diri di hadapan Allah yang Pengasih untuk memohon perlindungan-Nya. Puasa ini bertujuan supaya Tuhan mengabulkan
permohonan mereka dan menjaga mereka dalam perjalanan panjang itu sehingga tiba
dengan selamat di Yerusalem. Hasilnya: mereka
tiba dengan selamat di Yerusalem.
Pada zaman Ratu
Ester juga dilakukan puasa. Mereka
berpuasa di hadapan Allah lantaran Haman ingin memunahkan orang-orang Yahudi. Ratu Ester dan orang-orang Yahudi berkabung
dan memohon kepada Tuhan yan disertai puasa dan ratap tangis, agar Ia berkenan menyelamatkan
mereka dari pembunuhan massal. Hasilnya:
mereka diselamatkan dan sebaliknya Haman yang dibunuh. Begitu juga pada orang Niniwe pada zaman Nabi
Yunus. Mereka mengadakan puasa, baik
orang dewasa maupun anak-anak, untuk memohon belas kasihan Tuhan agar mereka
tidak ditunggang balikkan. Hasilnya: mereka
dibebaskan dari hukuman Tuhan untuk membinasakan mereka.
Masih cukup
banyak alasan untuk berbuasa di hadapan Allah.
Puasa juga dapat menjadi tempat pembuktian penguasaan diri dan ketahanan
dalam berbagai aspek. Namun kenapa Tuhan
Yesus berpuasa? Untuk Ia harus
berpuasa? Ia melakukan itu demi
kita.
Tidak lama lagi
Tuhan Yesus akan memulai karya agung-Nya untuk menyelamatkan orang yang
berdosa. Karya agung ini hanya dilakukan
oleh Tuhan Yesus. Tidak ada orang lain
yang memikul karya agung ini selain Tuhan Yesus, bukan saja karena tidak mau
tetapi karena tidak ada seorang pun yang mampu melakukan karya agung ini. Inilah
karya yang paling berat sekaligus paling agung di sepanjang abad. Tuhan Yesus akan memulainya. Namun sebelum memulai, Ia berpuasa.
Puasa Tuhan Yesus
menguji ketahanan-Nya sebagai manusia dalam melawan segala godaan. Puasa yang dilakukan Tuhan Yesus juga secara
implisit menggambarkan hubungan-Nya dengan Allah. Tuhan Yesus tidak duduk diam dan tidur-tiduran
selama berpuasa empat puluh hari. Sebaliknya
Ia terus menerus berkomunikasi dengan Allah Bapa dan Roh Allah. Hal ini sudah digambarkan di bagian renungan
sebelumnya, sebab ini merupakan satu-kesatuan yang utuh.
Puasa yang
dilakukan oleh Tuhan Yesus juga menggambarkan kemanusiaan-Nya yang sempurna dan
mewakili umat-Nya. Dalam kemanusiaan-Nya
yang sempurna, Ia akan melakukan karya yang agung itu. Ini merupakan pekerjaan agung yang sangat
berat. Tetapi Tuhan Yesus harus
melakukan-Nya demi umat-Nya. Karena itu,
dalam puasa ini juga, dalam kemanusiaan-Nya, Ia menyiapkan diri untuk menjalani
karya ini. Hasilnya: Ia mampu melaksanakan dengan sempurna karya
yang paling agung dan paling berat sepanjang masa itu.
Sekarang kita
coba merenung sejenak. Mengapa Yesus
harus berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam? Tidak cukupkah jika Ia melakukan-Nya hanya
lima hari, sepuluh hari, dua puluh hari atau di bawah empat puluh hari empat
puluh malam? Ada apa sehingga harus
demikian? Apakah ini suatu kebetulan
belaka?
Angka empat puluh
dalam Alkitab cukup familier. Kita akan
sering menemukan angka itu. Tuhan
menurunkan hujan untuk membinasakan segala yang hidup selain Nuh dan
keluarganya selama empat puluh hari empat puluh malam (Kej 7:4,12). Yunus masuk ke kota Niniwe dan berseruh: “Empat
puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan" (Yun 3:4). Ketika Musa menghadap Tuhan di gunung Sinai,
ia tidak makan dan tidak minum selama empat puluh hari empat puluh malam (Kel.
34:28). Tuhan Yesus menampakkan diri
setelah kebangkitan-Nya selama empat puluh hari. Masih cukup banyak ayat Alkitab yang
membicarakan angkat empat puluh. Tetapi
cukuplah ayat-ayat di atas untuk memahami angka empat puluh itu.
Orang-orang yang hidup di zaman Nuh melakukan
kejahatan yang begitu luar biasa. Oleh
sebab itu, Tuhan menghapus mereka dari muka bumi dengan menurunkan hujan empat
hari empat puluh malam. Kepenuhan
hukuman Tuhan jelas nyata dari turunnya hujan empat puluh hari empat puluh
malam. Setelah kepenuhan hukuman itu,
Tuhan tidak pernah lagi menghukum manusia dengan hujan selama empat puluh hari
empat puluh malam.
Orang-orang
Niniwe membuat kejahatan yang begitu hebat di mata Tuhan. Jika dalam tempat empat puluh hari mereka
tidak bertobat, mereka akan ditunggang balikkan. Empat puluh hari menggampar angka yang genap
untuk menyatakan keadilan-Nya. Jika
dalam empat puluh hari mereka tidak bertobat, maka kejahatan mereka di mata
Tuhan telah penuh dan mereka harus binasa.
Musa di gunung Sinai selama empat puluh hari empat puluh malam. Ini juga menyatakan waktu yang penuh dalam
kebersamaannya dengan Tuhan di gunung itu.
Empat puluh hari ini juga menyatakan kepenuhan kejahatan bangsa Israel
di kaki gunung Sinai. Intinya: angka empat
puluh menyatakan kepenuhan.
Tuhan Yesus belum
dicobai sebelum sampai empat puluh hari empat puluh malam. Ini bukan suatu kebetulan. Sesudah itu, Iblis datang mencobai Dia. Sebelum penuh empat puluh hari empat puluh
malam, Iblis tidak mungkin datang mencobai-Nya.
Setelah empat puluh hari empat puluh malam, Yesus lapar dan Iblis pun
datang mencobai-Nya. Dengan adanya kepenuhan
waktu pencobaan ini, umat Tuhan bersukacita karena pencobaan yang mereka alami
tidak melebihi pencobaan yang dialami oleh Tuhan Yesus. Pencobaan oleh si jahat yang mereka alami
tidak melebihi pencobaan yang Tuhan Yesus telah alami.
Pencobaan yang
Ayub alami mungkin berbeda dengan yang kita alami sekarang. Setiap pencobaan yang dialami umat Tuhan
berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Tetapi hakikat dari semua pencobaan yang umat Tuhan alami telah dialami
secara penuh oleh Tuhan Yesus. Inti dari
segala pencobaan umat-Nya telah terpenuhi dalam pencobaan yang dialami Tuhan
Yesus. Karena itu, setiap pencobaan yang
kita alami dapat Ia kalahkan sebab Ia telah mengalahkan segala pencobaan si
Iblis. Berbahagialah kita yang
mengalahkan pencobaan yang kita hadapi bersama dengan Tuhan Yesus.
Mungkin kita
bertanya, “Kok bisa Tuhan Yesus bisa hidup tanpa makan dan minum selama empat
puluh hari empat puluh malam?” Kita
sendiri kalau tidak makan dan tidak minum satu atau dua hari saja sudah tidak
berdaya. Tetapi mengapa Tuhan Yesus
tidak demikian? Kalau pertanyaan ini
muncul maka pertanyaan ini harus lebih dulu tertuju kepada Musa. Musa berpuasa, tidak makan dan tidak minum
selama empat puluh hari empat puluh malam di gunung Sinai. Tetapi Musa tidak merasa lemas, apalagi
mati. Tidak! Manusia biasa seperti Musa saja bisa hidup
tanpa makan dan minum selama empat puluh hari empat puluh malam, apalagi Yesus adalah
Allah sejati dan manusia sejati.
Musa tidak mati
di gunung Sinai karena berada dalam keagungan dan kemuliaan Allah. Keagungan dan kemuliaan Allah menjadi sebab
ketidakmatian Musa walaupun tidak makan empat puluh hari empat puluh
malam. Yesus dalam kemanusiaan-Nya,
walaupun tidak makan dan tidak minum, tidak akan menyebabkan kematian. Alasan-Nya karena Ia sedang dalam keintiman dengan Allah,
memiliki segala keagungan dan kemuliaan Allah dan Ia sendiri adalah Allah. Ia dapat melakukan hal-hal di luar kemampuan
akal dan kekuatan kita.
Setelah empat
puluh hari empat puluh malam, akhirnya
laparlah Yesus. Lapar menandakan
bahwa Yesus bukanlah manusia setelah dewa, melainkan manusia sempurna. Dia bukan hanya Tuhan yang menyelamatkan
umat-Nya dari dosa, tetapi juga Tuhan yang turut merasakan segala sesuatu yang
dirasakan umat-Nya.
Akhirnya Yesus
lapar setelah berpuasa empat puluh hari empat puluh malam dan itu terjadi di padang
gurun. Kenapa Tuhan Yesus dicobai di
padang gurun? Ada apa di padang gurun? Apakah ada sesuatu yang bisa dijadikan
andalan di padang gurun? Tidak ada yang
menyenangkan di padang gurun. Sebaliknya
kita membahayakan diri jika berada di sana.
Tetapi Tuhan dicobai di sana. Padahal
binatang-binatang liar buaslah yang menjadi ‘teman’ Tuhan Yesus. Bisa saja binatang-binatang itu datang
menyerang-Nya. Tetapi mereka tunduk
pada-Nya. Tidak ada air di padang
gurun. Tidak ada roti di padang
gurun. Tidak ada tempat perteduhan yang
cukup di padang gurun. Tidak ada yang
mendukung untuk dijadikan tempat tinggal di padang gurun. Tetapi Tuhan Yesus telah berkenan dicobai di
padang gurun. Semuanya Ia lakukan demi
umat-Nya.
Mungkin sekarang kita
sedang berada di padang gurun pencobaan. Padang gurun pencobaan kita bermacam-macam. Tetapi ingatlah bahwa apa pun padang gurun
pencobaan yang kita hadapi, Tuhan telah lebih dulu melewati padang gurun
itu. Karena Dia telah melewati padang
gurun itu maka Dia mengetahui jalan yang tepat untuk melewatinya. Sebab itu, rendahkanlah diri dan mohonlah
kepada-Nya agar Ia berkenan membawa dan menuntun kita dari padang gurun
pencobaan kita masing-masing. Dengan
itulah maka dengan perkataan dan tindakan kita masing-masing dapat berkata: “Aku
mengalahkan pencobaan itu bersama Tuhan.”
AMIN….!!!